Senin, 27 Mei 2013

MATERI BAHTSUL MASAIL KONFERENSI WILAYAH NU JAWA TIMUR TAHUN 2013 KOMISI MAUDLUIYAH


MATERI BAHTSUL MASAIL
KONFERENSI WILAYAH NU JAWA TIMUR TAHUN 2013
KOMISI MAUDLUIYAH

1.        Kekebalan Jurnalistik
Deskripsi Masalah :
Sempat terwacanakan tafsir atas penggalan QS. al-Baqarah 282:  ولا يأب الشـهداء إذا ما دعـوا (wa la ya’ba al-syahadau idza ma du’u) sebagai dasar penetapan hukum “kekebalan jurnalistik”. Konsekuensi dari penafsiran tersebut mengesahkan kebebasan pers, hal tersebut rentan melahirkan pemberitaan sepihak dan mengakibatkan pencemaran nama baik seseorang. Kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaan media cetak/elektronik oleh UU Pers dan Kode Jurnalistik difasilitasi dengan “hak jawab” lewat media yang sama. Kapasitas insan jurnalis tidak setingkat dengan “saksi/syahid” yang tentunya harus konfirmasi atas kebenaran berita (vide QS. al-Hujurat 6). Posisi subyek yang diberitakan justeru sederajat dengan “mudda’a ‘alayh” dan cukup bersumpah sebagai penolakan atas berita.
Pertanyaan:
a.         Seperti apa rumusan tafsir komprehensif atas penggalan QS. al-Baqarah 282 ?
b.         Adakah pengaturan kebebasan pers dalam Islam?
c.         Sanksi hukum apa layak dijatuhkan kepada pelaku pencemaran nama baik seseorang karena perlindungan terhadap kehormatan hamba “hifdzu al-irddhi” masuk pada misi pokok al-dharuriyat al-khams ?
2.        Bai’at dalam Pengamalan Agama
Deskripsi Masalah :
Proses penerimaan keislaman seseorang/kelompok pada masa hidup Nabi Muhammad Saw ditandai dengan bai’at. QS. al-Taubah 111, al-Mumtahanah 12, al-Fatah 10, 19 dan fakta sejarah periode nubuwah. Pada masa sekarang ceremony bai’at mewarnai proses penerimaan salik oleh mursyid thariqah. Hegemoni rasa keagamaan versi thariqah senantiasa menjadi kebanggaan tersendiri. Ekses negatifnya menimpa kelompok muslim yang tidak mengafiliasikan diri pada jaringan thariqah tertentu. Dalam hazanah fuqaha bai’at menjadi syarat legitimasi pejabat khilafah/ imamah.
Pertanyaan:
a.    Wajibkah setiap muslim berthariqah dan berbai’at kepada mursyid tertentu?
b.    Seberapa jauh bai’at dalam thariqah memiliki nilai tambah bagi mutu amaliah keagamaan seseorang?
c.    Prosedur bai’at barzahiyah cukup menjadi bukti bahwa sanad thariqah tidak diwarnai fakta mu’asharah (kesejamanan) dan tak ada jaminan tsubut al-liqa’ (kepastian komunikasi antara mursyid dengan khalifah), berarti sanad thariqah terputus. Adakah jaminan syar’i bahwa temu ruh, konsultasi spiritual memadai untuk dasar ittiba’?

3.  Dasar Memilih Alternatif Kebijakan
Deskripsi Masalah :
Instrumen yang diperbantukan dalam menetapkan pilihan kerja, pilihan jodoh, pilihan lokasi usaha, arah menghadap rumah kediaman dan pilihan tindakan yang lain tersedia dalam berbagai sarana. Jasa paranormal, kaidah Hong Sui (Cina), buku primbon, ramalan astrologi, hitungan wifiq hingga istikharah di atas lembaran mushaf. Cara melempar kalam (QS. Ali Imran 44), kritik atas permainan anshab dan azlam (QS. al-Maidah 90), yang pertama masuk syar’u man qablana terimbangi dengan cara qur’ah oleh Nabi Saw dalam menentukan isteri pendamping dalam perjalanan luar kota, sedang yang kedua terlarang.
Pertanyaan:
a.         Adakah petunjuk praktis yang sesuai akidah untuk menentukan pilihan instrumen?
b.        Bila Abu Hamid al-Ghazali menghimpun rumus wifiq, seperti juga Abu Mahsyar al-Falaki, buku primbon menyediakan rumus-rumus menduga rencana serupa, apakah terlarang penggunaannya? Bukankah sikap hati-hati (waspada akan akibat) diperintahkan? Bagaimana memanage qadha mu’allaq?
c.         Seperti apa rangkai hubungan antara qadha dan qadar versi ahlus-sunnah wal-jama’ah?

4.        Status Nasab Anak
Deskripsi Masalah :
Anak yang terlahir selepas iddah thalaq, sedang ibu anak tersebut tetap menjanda menjadi dilematis bagi pria mantan suami dari ibu tersebut bila harus menerima atau harus menolak tuntutan nisbah anak kepadanya. Ikatan hukum nikah telah lepas akibat thalaq bain, karenanya tertutup baginya untuk menempuh upaya li’an dengan tujuan “nafyu al-walad”. Ketahanan janda yang melahirkan anak tersebut kehilangan dasar hukum untuk menggugat mantan suaminya agar mengakui nasab anak tersebut.
Pada pasal 102 ayat (1) KHI ditegaskan bahwa pengingkaran terhadap status nasab anak mematok batas waktu 360 hari pasca putus perkawinan atau 180hari sesudah hari lahir anak. Batasan waktu demikian berlawanan dengan doktrin mainstream fuqaha sunni.
Pertanyaan:
a.    Sekira anak perempuan terlahir pasca iddah thalaq atas diri ibu yang melahirkannya, kepada siapa otoritas wali nikah harus diberikan?
b.    Bagaimana kepastian tuntutan nafaqah anak tersebut dan hak hadhanah harus dibebankan?
c.    Adakah status saudara dalam hukum waris dengan anak yang lahir sewaktu pasangan ibu dan ayah tersebut masih utuh pernikahannya?

5.        Operasionalisasi Maqashid al-Syari’ah
Deskripsi Masalah :
Penalaran terkait hal-hal yang tidak diatur lewat nash syar’i telah muncul kecenderungan pada pertimbangan “maqashid al-syari’ah” yang terurai pada kitab al-Mawafaqat fi Ushuli al-Syari’ah karya al-Syathibi. Analisis terkait maslahat-mafsadah, krietria dalam menilai dharuriat-hajiat-tahsiniyat-tahsiniat/takmiliat bisa terjebak pada ukuran subyektif, lokalistik, pragmatik, periodik hingga sifat partikulir.
Ketegasan dalam menunjuk hipotesis (dugaan) masalah tak jarang bisa mengabaikan aturan nash sunnah/hadis/praktek keagamaan/fatwa ulama salaf dan doktrin keagamaan pada kutub al-mu’tabarah. Sikap ikhtiyath (hati-hati) dalam berfatwa, pengujian argumentasi/hujjah syar’iyah bisa tanpa istiqra’ terhadap dampak.
Pertanyaan:
a.    Bila pola penalaran “maqashid al-syari’ah” efektif, dalam situasi dan kondisi seperti apa boleh dioperasionalkan?
b.    Upaya ilmiah apa harus menindaklanjuti uji kebenaran hukum yang berorientasi pada maqashid al-syari’ah?
c.    Bagaimana nilai pertanggungjawaban fatwa hukum bila sebatas didasari prediksi maqashid al-syari’ah, karena langkah kerjanya mirip dengan eksplorasi illat mustanbathah untuk berqiyas?

6.      Prinsip jam’iyah NU الأخذ بالجديد الأصلح
Deskripsi Masalah :
Prinsip kerja jam’iyah tersebut populer oleh inisiatif KH. Ahmad Shiddiq (alm) sekitar 1983-1984 bersamaan pelaksanaan MUNAS/ Muktamar Situbondo. Bagi kalangan awam ungkapan slogan tersebut sama membingungkan dengan “kembali ke khittah 1926”. Kiranya perlu penjabaran otentik (tafsir bayani) atas maksud ungkapan tersebut.
Pertanyaan:
a.    Apakah slogan jam’iyah tersebut inklusif ke dalam kerangka “Khithah Nahdliyah”?
b.    Gerak operasional slogan tersebut menghajatkan langkah “tarjih” guna mengklarifikasi sifat shalih dan ashlah. Bukankah kemampuan tarjih bagi NU tergolong aktifitas ijtihad murajjih/muharrir? Siapkah kader NU masa kini melakukan uji komparatif antara satu/lebih doktrin ulama salaf?
c.    Efektifkah implementasi slogan tersebut pada masalah siyasah duniawiyah, teknis kejam’iyahan atau direkomendasikan pada wilayah ilmiah dan berarti peluang berpikir liberal?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar